Senin, 30 Juni 2008

PENGENDALIAN HAYATI


Istilah pengendalian hayati pertama kali digunakan oleh Smith ( 1919 ) sebagai suatu cara untuk menurunkan populasi hama dengan menggunakan musuh alami, kemudian De Bach (1964) membedakan istilah pengendalian alami dan hayati, dimana

pengendalian
alami adalah pemeliharaan tingkat populasi suatu organisme pada periode tertentu karena aksi abiotik dan biotic dari factor lingkungan, sedangkan Pengendalian hayati adalah aksi dari parasit, predator, atau pathogen didalam usaha untuk memelihara kepadatan populasi organisme lain pada tingkat terendah bila dibandingkan mereka tidak ada. Van de Bosch memodifikasi definisi tersebut dengan menekankan bahwa pengendalian hayati adalah manipulasi musuh alami olen manusia untuk mengendalikan hama, sedangkan pengendalian alami adalah tanpa ada campur tangan manusia dalam usaha pengendalian hama.

Istilah tersebut berkembang dengan semakin berkembangnya cara manusia memanipulasi musuh alami tersebut dan semakin banyaknya ilmuwan dibidang ekologi, entomologi, gulma, penyakit tanaman, penyakit serangga dan mikrobiologi yang terlibat di dalam kegiatan pengendalian hayati. Eilenberg et al. cit dalam artikelnya di jurnal Biocontrol mengemukakan pendapatnya untuk menyatukan terminology di dalam pengendalian hayati. Beliau dan teman-teman mendefinisikan Pengendalian Hayati (Biological control atau biocontrol) adalah penggunaan organisme hidup untuk menekan kepadatan populasi atau memberi pengaruh terhadap organisme hama spesifik, yang membuat kepadatan populasinya atau kerusakannya menurun bila dibandingkan dengan absennya musuh alami.

Penggunaan pengendalian hayati tumbuh karena perlunya ditemukan sebuah teknik pengendalian ketikapestisida tidak mampu bekerja untuk mengendalikan hama tertentu. Hal lain yang merangsang pengunaan pengendalian hayati adalah pestisida dapat menyebabkan efek samping yang negative terhadap kesehatan manusia, kelestarian lingkungan. Pengendalian hayati tidak meninggalkan residu kimia dan umumnya spesifik pada hama tertentu jika kita bandingkan dengan pestisida kimia sintetik yang menimbulkan residu dan umumnya berspektrum luas.


Ada 3 dasar pendekatan di dalam pengendalian hayati yaitu:

1. Konservasi dan peningkatan musuh alami (Corserving and enhancing natural enemies), pendekatan pertama ini adalah bertujuan untuk konservasi dan meningkatan dampak musuh alami yang telah ada pada areal pertanaman. Salah satu caranya adalah meminimalisasi dampak negatif penggunaan pestisida. Cara lain yang dapat digunakan adalah merubah lingkungan pertanaman dan cara bercocok tanam.

2. Augmentasi populasi musuh alami (Augmentation natural enemy populations), Jika musuh alami yang ada di areal pertanaman tidak mampu mengendalikan hama, meskipun konservasi telah dilakukan, maka cara kedua pendekatan pengendalian hayati adalah melakukan pembiakan massal musuh alami itu di laboratorium, kemudian melepaskannya kembali ke lapang dengan tujuan untuk mengakselerasi populasinya di lapang dan menjaga populasi serangga hama. Dalam pendekatan ini ada 2 metode yang dikenal yaitu Inokulasi dan Inundasi.

Inokulasi adalah pelepasan musuh alami dilakukan dalam satu kali musim tanam dengan tujuan agar dapat mengadakan kolonisasi dan menyebar secara luas. Inokulasi dilakukan jika musuh alami di areal pertanaman tidak bertahan lama dari satu masa tanam ke masa tanam berikutnya karena klimat yang tidak menguntungkan atau tidak adanya hama, maka inokulasi ini umumnya dilakukan pada awal musim tanam, sehingga populasinya akan mapan dan berkembang .

Inundasi adalah pelepasan musuh alami secara masal dengan maksud agar musuh alami dapat berfungsi seperti insektisida hayati yaitu cepat dapat menekan populasi seperti insektisida dalam hal ini yang digunakan adalah musuh alami. Hal itu dilakukan ketika populasi hama membutuhkan penanganan yang cepat sehingga pembanjiran musuh alami dalam jumlah besar di areal pertanaman sangat diperlukan, umumnya adalah aplikasi bioinsektisida (BT, Virus, dll.) atau parasitoid seperti Trichogramma spp.

3. Introduksi musuh alami, adalah pemasukan musuh alami dari luar yang dilakukan untuk menekan populasi apabila populasi musuh alami tidak ada atau tidak efektif untuk menekan populasi, maka tindakan introduksi atau importasi musuh alami ke daerah yang ada maslah perlu dilakukan. Umumnya pendekatan ini dilakukan bila terjadi ledakan hama yang bersifat eksotik atau invasif spesies. Pendekatan ini juga sering dikenal sebagai pengendalian hayati klasikal.


Organisme sasaran dari PH dapat dikategorikan menjadi 3 :

1. Hama Arthropoda (terutama serangga dan tungau)

2. Gulma

3. Penyakit tanaman dan nematoda parasit tanaman


Agens pengendali hayati dapat dibagi dalam beberapa kategori :

1. Parasitoid serangga

2. Predator Arthropoda dan invertebrata lainnya

3. Patogen dan Predator

4. Patogen dan nematoda yang menyerang Arthropoda (Bakteri, Virus, Fungi, Protozoa, nematoda.

5. Patogen dan Herbivora yang menyerang Gulma.


Parasitoid Serangga adalah serangga yang stadia pradewasanya memparasit pada atau ada di dalam tubuh serangga lain, sedangkan imago hidup bebas menjadikan nektar dan embun madu sebagai makanannya. Perbedaan definisi antara parasitoid dan parasit adalah

1. Parasitoid selalu menghabiskan inangnya di dalam perkembangannya , sedangkan parasit tidak.

2. Inang parasitoid adalah serangga juga, sedangkan parasit tidak

3. Ukuran tubuh parasitoid bisa lebih kecil atau sama dengan inangnya, sedangkan parasit pasti lebih kecil dari inangnya

4. Parasitoid dewasa tidak melakukan aktivitas parasitasi, akan tetapi hanya pada stadia pradewasa, sedangkan parasit seluruh stadia melakukan parasitasi

5. Parasitoid hanya berkembang hanya pada satu inang dalam siklus hidupnya, sedangkan parasit tidak.

6. Umumnya adalah serangga ordo Hymenoptera dan Diptera.


Predator adalah adalah binatang yang memakan binatang lain (mangsa/prey) yanag lebih kecil atau lemah .

Patogen adalah mikroorganisme yanag hidup dan makan pada atau dalam inang (host) lain yang lebih besar, yang menyebabkan sakit atau luka.

PENGENDALIAN HAYATI GULMA

Pengendalian Hayati gulma diartikan sebagai penggunaan musuh alami untuk mengurangi kepadatan sebagian populasi gulma sampai pada aras yang toleran. Prinsip utama pengendalian hayati adalah tetap memelihara sebagian organisme yang dikendalikan tetap berada dialam untuk memelihara kelangsungnan hidup musuh alaminya. Pengendalian hayati bukan merupakan eradikasi atau memusnahkan tetapi cukup mengurangi populasinya sehingga tidak menimbulakan kerugian secara ekonomi. Tidak semua musuh alami gulma dapat digunakan untuk mengendalikan gulma, salah satu contoh yang berhasil adalah pengendalian Opuntia spp di Australia dengan mengintroduksi ngengat Cactoblastis cactorum.

Gulma adalah tanaman yang tumbuh ditempat yang tidak dikehendaki. Disekitar tempat tinggal kami di Semarang banyak sekali jenis-jenis gulma yang bisa dijumpai seperti alang-alang, rumput-rumputan, gulma daun lebar seperti gulma siam dan lain-lain. Kota Semarang terbagi menjadi dua tipe wilayah yaitu wilayah atas dan wilayah bawah, daerah semarang atas tanahnya sur merupakan dataran tinggi sehingga banyak untuk tanaman sayur-sayuran, sedang wilayah bawah daerahnya kurang subur, banyak gunung-gunung cadas, tidak bagus untuk pertanian banyak gulma yang tumbuh subur di daerah yang berbukit cadas.

GULMA AIR

Selain gulma siam banyak agens hayati untuk gulma sudah dikembangan seperti gulma air. Beberapa macam gulma air : 􀂇 Alligatorweed, Hydrillla, Parrotfeather, Phragmites, Giant Salvinia, Torpedograss, Water Hyacinth (Eichornia crassipes). Dari beberapa macam tanaman air tersebut, gulma yang paling potensian di daerah semarang adalah Water Hyacinth / eceng gondok (Eichornia crassipes) Eceng gondok banyak dijumpai disaluran-saluran air di wilayah semarang, mulai pelabuhan sampai ke timur di kabupaten Kendal.

Gulma tersebut merupakan salah satu aliens spesies, mula-mula didatangkan dari USA dan ternyata di indonesia berkembang tidak terkendali dan sangat menggaggu saluran-saluran air karen cepat sekali berkembang biak, dan selama ini tidak pernah dikendalikan hanya mengeruk saluran-saluran air dan ternyata tetap dapat berkembang dengan baik apalagi pembersihan saluran tidak rutin. Beberapa macam spesies yang diketahui sebagai agens hayati adalah Mottled waterhyacinth weevil – 1972 (Neochetina eichorniae)

Chevroned waterhyacinth weevil – 1974 ( Neochetina bruchi) dan Waterhyacinth moth larvae – 1977 (Smeodes albiguttalis), selain itu sedang dikembangkan adalah penggunaan ikan koan untuk mengendalikan eceng gondok tersebut. Explorasi terhadap musuh alami yang ada di semarang belum sempat dilakukan karena terkendala cara untuk dapat sampai ketengah perairan yang terdapat gulma airnya, sehingga perlu waktu lebih banyak untuk dapat mengumpulkan macam-macam musuh alami yang ada pada gula eceng gondok maupun gula gulma yang lain.

Pemanfaatan musuh alami pada gulma memang bagus terutama tidak merusak lingkungan tetapi mengingat banyaknya biaya yang dibutuhkan dan juga tenaga ahlinya maka belum banyak dikembangkan sebagai agens hayati. Pelan tapi pasti kita harus menuju kesana untuk menyelamatkan lingkungan disekitar kita.

____ ... ____


DAFTAR PUSTASKA

Untung Kasumbogo, 2007, Pengendalian Hayati, Laboratorium Pengandalian Hama Terpadu, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta.

Wagiman, FX, 2007, Pengendalian Hayati, Laboratorium Pengendalian Hayati, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta.

Wagiman, FX, 2006, Pengendalian Hayati, Hama Kutu Perisai Kelapa dengan predator Chilocorus Politus, Gadjah Mada University Press, Jogyakarta.


__________

Naskah diatas adalah ringkasan dari tugas mata kuliah Pengendalian Hayati, Fakultas Pertanian, jurusan HPT, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 2008, a.n. Suciati HW




Tidak ada komentar: